Jumat, 26 September 2025
Diakses: 337 kali
KH. Moh. Zuhri Zaini: Beribadah dan Tantangan dalam Perjalanan Menuju Allah
KH. Moh. Zuhri Zaini, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid, menyampaikan bahwa Perjalanan menuju Allah itu tiada lain adalah ibadah. Karena itu, dalam menjalankan ibadahtidak boleh dibatasi pada salat, zikir, atau haji. Ibadah juga mencakup hal-hal seperti sosial,membantu sesama, belajar, dan mengajar. Semua ini termasuk bagian dariaktivitas ibadah.
Namun, ada aktivitas yang tampaknya bukan seperti ibadah yaitu makan, minum, tidur, atau kawin. Karena, menurut Kiai Zuhri, hal ini merupakan kebutuhan dasar yang tidak hanya dilakukan oleh manusia. Tetapi juga oleh hewan, bahkan dilakukan oleh orang-orang yang tidak beriman. Sebab itu, aktivitas-aktivitas tersebut belum bisa dikatakan ibadah.
“Makan dan minum bisa jadi ibadah kalau caranya benar, niatnya juga benar. Kita makan dan minum agar kita punya energi atau kemampuan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban kita kepada Allah,” terang Kiai Zuhri dalam Kuliah Tasawuf ke-12 di musala Riyadus Sholihin Pondok Pesantren Nurul Jadid, Kamis (26/12/2024) Malam.
Allah berfirman: “Kulu wasrabu wala tusrifu” yang artinya: “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan” (QS Al-A’raf: 31). Selain itu, ditegaskan dalam QS Al-Mu'minun: 51, “Ya ayyuharrasulu kulu minat tayyibat wa’malu sholihat” yang artinya: “Wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik dan kerjakanlah amal saleh.”
Selain itu, Kiai Zuhri melanjutkan, menggembirakan hati orang lain dengan senyum, termasuk bagian dari ibadah. “Jadi ibadah itu pengertiannya sangat luas dan mendalam. Jangan hanya di batasi kepada ibadah-ibadah ritual,” dawuhnya.
Para ulama pernah berkata, “Al-Qoimu bi Huquqillah wa Huquqi ‘Ibadi”, yang berarti: “Orang yang menunaikan hak-hak Allah dan hak-hak hamba-Nya.” Hak-hak Allah mencakup ibadah seperti sholat, puasa, zakat, taat kepada perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, mensyukuri nikmat, dan bertawakal kepada-Nya.
Sedangkan, hak-hak manusia mencakup adil, jujur, menolong sesama, tidak merugikan orang lain, serta memenuhi janji. Dengan menunaikan kedua hak ini, seseorang menjalankan kewajibannya kepada Allah dan peran sosial dengan seimbang.
Seseorang yang rajin salat, puasa, atau qiyamul lail belum sepenuhnya disebut sebagai orang yang soleh, jika ia masih mengabaikan hubungan baik dengan tetangganya. Misalnya sering mengganggu, atau tidak peduli dengan sesama.
“Kalau hubungan kita baik dengan Allah itu pastinya berdampak baik dengan sesama makhluk. Sebab Allah memerintahkan kita berbuat baik kepada makhluk, bukan hanya manusia dengan hewan pun,” katanya.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah menyampaikan sebuah kisah, “Seorang wanita masuk neraka karena seekor kucing yang ia kurung tidak memberinya makan, dan tidak pula membiarkan kucing tersebut mencari makan sendiri.” Karena itu, setiap makhluk, termasuk hewan, memiliki hak-hak yang sama.
Tahapan-Tahap dalam Perjalanan Ibadah Menuju Allah
Dalam perjalanan menuju Allah melalui ibadah, disebutkan dalam kitab Minhajul Thalibinada tuju. Tahap pertamaAqobatul Ilmi (tahapan ilmu). Karen itu, tholabul ‘ilmifaridhah (menuntut ilmu adalah kewajiban), terutama ilmu agama yang meliputi aqidah, syariat dan akhlak.
“Kita untuk bisa melakukan ibadah harus punya ilmu. Tanpa ilmu, ibadah bisa salah. Jangankan untuk ibadah, mau membuat kue saja kalau tidak tau caranya jadi gakaruan. Apalagi ibadah yang begitu rumit, tidak hanya melibatkan fisik, tapi juga melibatkan batin atau hati jadi ini perlu ilmu yang banyak,” jelas Kiai Zuhri.
Walaupun ilmu adalah bekal utama dalam ibadah, tetapi tanpa kesadaran dan penghayatan, ilmu tidak akan mendorong seseorang untuk berbuat amal. Ilmu yang tidak diamalkan justru menjadi beban dan dosa, tambah Kiai Zuhri. Sebagaimana diingatkan oleh para ulama: lebih baik tidak tahu daripada tahu namun tidak mengamalkan.
Tahapan kedua dalam perjalanan ibadah menuju Allah adalah Tobat. Proses membersihkan diri dari dosa besar maupun kecil. Namun, menghindari perbuatan dosa besar mungkin lebih mudah, tetapi menghindari dosa kecil sering kali sulit.
“Untuk bisa menuju Allah dengan baik, kita harus membersihkan diri dari kotoran-kotoran fisik seperti najis dan hadas. Tapi itu saja tidak cukup, diri juga perlu dibersihkan dari kotoran batin atau kotoran hati seperti sifat-sifat buruk dalam hati,” terang Kiai Zuhri.
Beliau mencontohkan, menjaga pandangan mata di kota-kota besar saat ini sangat sulit. Keluar dari rumah, mata sering tidak sengaja melihat hal yang tidak seharusnya. Kata para ulama, “Lakal Ula wa Ilaika Saniyah,” yang artinya: pandangan pertama yang tidak disengaja dimaafkan, tetapi pandangan kedua yang disengaja menjadi dosa. Karena itu, menjaga mata sangat penting karena apa yang masuk melalui mata dapat memengaruhi hati.
“Kebiasaan duduk di teras sore hari untuk “cuci mata” sering dilakukan, tetapi justru hal ini dapat mencemari hati. Alih-alih “mencuci mata,” perilaku ini malah mengotori hati dengan dosa. Memang sulit menghindari sepenuhnya, tetapi minimal kita berusaha untuk tidak sengaja melakukannya.
Sebagaimana para ulama pernah berkata, “Al-Insanu Mahallul Khotta’ wan Nisyan” (Manusia adalah tempatnya salah dan lupa), maka kita harus terus berusaha memperbaiki diri, bertobat, dan menjaga hati dengan sungguh-sungguh.
Meskipun manusia memiliki tabiat untuk berbuat dosa, tetapi Allah menyediakan solusi yaitu tobat. Bagi orang yang bertaubat dengan sungguh-sungguh (taubatan nasuha), akan diampuni dosanya.Namun, perbuatan seseorang baik itu amal saleh atau perbuatan doa akan membekas di hati.
“Amal saleh itu ada bekas juga, kalau amal saleh tentu memperkuat iman.Sedangkan dosa, memperlemah iman, ini yang bahaya sehingga kalau kita terus-terusan berbuat dosa tanpa bertobat,iman kita bisa semakin lemah hingga akhirnya hilang,” kata Kiai Zuhri.
Dalam beribadah ada dua hal yang harus kita perhatikan yaitu melaksanakan perintah-Nya(awamir) dan menjauhi larangan-Nya(nawahi).Mungkin dengan bertobat, kita sudah menjauhi larangan-Nya,tapiada perintah yang harus kita laksanakan yaitu ibadah. Sebab meninggalkan perintah juga dosa.
Tahapan ketiga dalam perjalanan ibadah menuju Allah adalah“AqobatulHawaiq”(penghalang). Penghalang ini bisa berupa nafsu, lingkungan, atau godaan setan.Namun, penghalang yang paling berat adalah nafsu.
Mengendalikan nafsu bukanlah perkara mudah. Karena nafsu bagian dari diri kita sendiri. Nafsu hanya akan hilang ketika kita telah meninggal dunia, tak ada lagi keinginan apa-apa. “Lalu bagaimana? kendalikan nafsu itu dengan akal kita, diperkuat dengan ilmu kita, dan tentu taufik hidayat dengan berdoa,” jelas Kiai Zuhri.
Tahapan keempat dalam perjalanan ibadah menuju Allah adalahhawarid (pengganggu). Dalam perjalanan menuju Allah, kita akan menghadapi pengganggu, namun ini tidak menghalangi jalan sepenuhnya. Tetapi mengurangi kenyamanan, seperti hujan yang turun di tengah perjalanan.
Kiai Zuhri melanjutkan, pengganggu bisa berupa kemiskinan. Kadang-kadang, seseorang sibuk mencari harta hingga lalai dalam ibadahnya. Padahal, mencari nafkah seharusnya dijadikan sebagai penunjang ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan sebaliknya.
Beliau mencontoh lain; pengganggu dalam ibadah adalah gangguan keikhlasan. Misalnya, seseorang keluar rumah dengan niat mau ke masjid untuk salat berjamaah. Namun, di tengah jalan, ia bertemu dengan mertua atau seseorang yang ia kenal, lalu muncul niat untuk pamer.
Hal di atas mengurangi keikhlasan yang awalnya ada.Ketika seseorang berhasil mengatasi persoalan ini, maka ia akan mampu melaksanakan perintah Allah dengan baik dan konsisten. Perjalanan ini membutuhkan kesabaran, keikhlasan, dan usaha terus-menerus untuk memperbaiki diri.
Tahapan kelima dalam perjalanan ibadah menuju Allah adalah Bawais. Dalam perjalanan ibadah, salah satu tantangan terbesar adalah melawan rasa malas yang sering muncul. Perjalanan ini lebih sering melelahkan secara mental daripada fisik. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan dorongan yang kuat atau pembangkit motivasi.
Bawais adalah faktor pendorong yang menjaga semangat seseorang dalam menjalankan kewajiban dan menjauhi dosa. Salah satu bentuk bawais adalah keyakinan bahwa setiap amal akan mendapatkan balasannya: amal baik dibalas dengan kebaikan, sementara amal buruk dibalas dengan keburukan. Keyakinan ini menjadi motivasi penting untuk terus berbuat baik dan menjauhi perbuatan dosa.
Melawan rasa malas memerlukan introspeksi dan kesadaran penuh terhadap tujuan hidup, yaitu mencari ridha Allah. Dengan motivasi yang kuat, seseorang dapat melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, meskipun tantangan mental sering kali terasa berat. AqobatulBawais menjadi kunci penting untuk menjaga konsistensi ibadah serta meningkatkan kualitas amal.
Tahapan keenam dalam perjalanan ibadah menuju Allah adalahperusak amal.Amal ibadah, meskipun tampak baik dan saleh, dapat menjadi rusak jika tidak dilandasi niat yang benar. Salah satu perusak amal yang paling berbahaya adalah riya’, yaitu beramal bukan karena Allah, melainkan untuk tujuan duniawi seperti ingin dipuji atau dihormati.
Ikhlas adalah syarat utama diterimanya amal. Ikhlas berarti melakukan ibadah semata-mata karena Allah, tanpa ada maksud lain. Sebagaimana yang dijelaskan, ikhlas adalah al-amalu li-ajlillah, yaitu beramal hanya untuk Allah. Namun, dalam praktiknya, godaan untuk mencari keuntungan duniawi sering kali mengintai.
Contohnya, seseorang yang menjalankan salat jamaah, haji, atau umrah, ibadah yang melibatkan syiar dan diketahui banyak orangberisiko tergoda untuk mencari pujian. Jika tujuan ibadah itu bergeser menjadi ingin dianggap ahli ibadah atau dihormati, amal tersebut kehilangan keikhlasannya.
Tahapan terakhirdalam perjalanan ibadah menuju Allah adalah Aqobatal-Hamdi waasy-Syukri. Setelah seseorang berhasil melewati enam tahapan sebelumnya mulai dari ilmu, tobat, penghalang, pengganggu, bawais, dan perusak amal,maka ujian terakhir adalah kemampuan untuk memuji dan bersyukur kepada Allah dalam setiap keadaan.
Perjalanan ini tidak akan pernah selesai selama seseorang masih hidup, karena ujian dalam hidup terus berlangsung hingga akhir hayat. Penentuan akhir dari perjalanan ini adalah pada saat sakaratul maut, di mana nasib seseorang, baik khusnul khatimah (akhir yang baik) maupun su’ul khatimah (akhir yang buruk), akan diketahui.
Jl. PP Nurul Jadid, Dusun Tj. Lor, Karanganyar, Kec. Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur 67291
pomas@unuja.ac.id